Islam
Kok Pacaran
Soal pacaran di zaman sekarang tampaknya menjadi
gejala umum di kalangan kawula muda. Barangkali fenomena ini sebagai akibat
dari pengaruh kisah-kisah percintaan dalam roman, novel, film dan syair lagu.
Sehingga terkesan bahwa hidup di masa remaja memang harus ditaburi dengan
bunga-bunga percintaan, kisah-kisah asmara, harus ada pasangan tetap sebagai
tempat untuk bertukar cerita dan berbagi rasa.
Selama ini tempaknya belum ada pengertian baku
tentang pacaran. Namun setidak-tidaknya di dalamnya akan ada suatu bentuk
pergaulan antara laki-laki dan wanita tanpa nikah.
Kalau ditinjau lebih jauh sebenarnya pacaran
menjadi bagian dari kultur Barat. Sebab biasanya masyarakat Barat mensahkan
adanya fase-fase hubungan hetero seksual dalam kehidupan manusia sebelum
menikah seperti puppy love (cinta monyet), datang (kencan), going
steady (pacaran), dan engagement (tunangan).
Atas dasar itulah ulama memandang, bahwa
pacaran model begini adalah kedhaliman atas amanah orang tua. Secara sosio
kultural di kalangan masyarakat agamis, pacaran akan mengundang fitnah, bahkan
tergolong naif. Mau tidak mau, orang yang berpacaran sedikit demi sedikit akan
terkikis peresapan ke-Islam-an dalam hatinya, bahkan bisa mengakibatkan
kehancuran moral dan akhlak. Na’udzubillah min dzalik !
Sudah banyak gambaran kehancuran moral akibat
pacaran, atau pergaulan bebas yang telah terjadi akibat science dan
peradaban modern (westernisasi). Islam sendiri sebagai penyempurnaan dien-dien
tidak kalah canggihnya memberi penjelasan mengenai berpacaran. Pacaran menurut
Islam diidentikkan sebagai apa yang dilontarkan Rasulullah SAW : "Apabila
seorang di antara kamu meminang seorang wanita, andaikata dia dapat melihat
wanita yang akan dipinangnya, maka lihatlah." (HR Ahmad dan Abu
Daud).
Namun Islam juga, jelas-jelas menyatakan bahwa
berpacaran bukan jalan yang diridhai Allah, karena banyak segi mudharatnya.
Setiap orang yang berpacaran cenderung untuk bertemu, duduk, pergi bergaul
berdua. Ini jelas pelanggaran syari’at ! Terhadap larangan melihat atau bergaul
bukan muhrim atau bukan istrinya. Sebagaimana yang tercantum dalam HR Bukhari
dan Muslim dari Ibnu Abbas yang artinya: "Janganlah salah seorang di
antara kamu bersepi-sepi (berkhalwat) dengan seorang wanita, kecuali bersama
dengan muhrimnya." Tabrani dan Al-Hakim dari Hudzaifah juga
meriwayatkan dalam hadits yang lain: "Lirikan mata merupakan anak panah
yang beracun dari setan, barang siapa meninggalkan karena takut kepada-Ku, maka
Aku akan menggantikannya dengan iman sempurna hingga ia dapat merasakan arti
kemanisannya dalam hati."
Tapi mungkin juga ada di antara mereka yang
mencoba "berdalih" dengan mengemukakan argumen berdasar kepada sebuah
hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Imam Abu Daud berikut : "Barang
siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, atawa memberi karena
Allah, dan tidak mau memberi karena Allah, maka sungguh orang itu telah
menyempurnakan imannya." Tarohlah mereka itu adalah orang-orang
yang mempunyai tali iman yang kokoh, yang nggak bakalan terjerumus
(terlalu) jauh dalam mengarungi "dunia berpacaran" mereka. Tapi kita
juga berhak bertanya : sejauh manakah mereka dapat mengendalikan kemudi
"perahu pacaran" itu ? Dan jika kita kembalikan lagi kepada hadits
yang telah mereka kemukakan itu, bahwa barang siapa yang mencintai karena Allah
adalah salah satu aspek penyempurna keimanan seseorang, lalu benarkah mereka
itu mencintai satu sama lainnya benar-benar karena Allah ? Dan bagaimana mereka
merealisasikan "mencintai karena Allah" tersebut ? Kalau (misalnya)
ada acara bonceng-boncengan, dua-duaan, atau bahkan sampai buka aurat (dalam
arti semestinya selain wajah dan dua tapak tangan) bagi si cewek, atau yang
lain-lainnya, apakah itu bisa dikategorikan sebagai "mencintai karena
Allah ?" Jawabnya jelas tidak !
Dalam kaitan ini peran
orang tua sangat penting dalam mengawasi pergaulan anak-anaknya terutama yang
lebih menjurus kepada pergaulan dengan lain jenis. Adalah suatu keteledoran
jika orang tua membiarkan anak-anaknya bergaul bebas dengan bukan muhrimnya.
Oleh karena itu sikap yang bijak bagi orang tua kalau melihat anaknya sudah
saatnya untuk menikah, adalah segera saja laksanakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar